Cinta merupakan kebutuhan pokok riil pada setiap keberadaan manusia.
Banyak orang yang lapar akan hal itu, oleh kaerena itu mereka menonton film
yang tak terhitung jumlahnya yang bertemakan tentang cinta yang berakhir
bahagia dan yang tidak bahagia. Mereka juga mendengarkan berbagai macam
lagu ’murahan’ tentang cinta namun mungkin tidak ada satu orang yang berpikir
bahwa ada sesuatu yang perlu dipelajari tentang cinta.
Perilaku yang aneh tersebut didasarkan oleh tiga premis yang entah sendirisendiri
atau bersama-sama menguatkan kesimpulan diatas. Premis pertama yang
menyebutkan bahwa tidak ada yang perlu dipelajari tentang cinta, yaitu soal
dicintai daripada mencintai; kemampuan seseorang untuk mencintai. Masalah
pada premis pertama ini adalah bagaimana dicintai. Ada beberapa jalan dalam
pengejaran terhadap tujuan tersebut. Pertama adalah premis yang diungkapkan
kaum adam, yaitu untuk mencapai sukses, menjadi sedemikian berkuasa dan kaya
raya hingga batas sosial yang dimungkinkan oleh kedudukan seseorang. Kedua
adalah premis yang diungkapkan oleh kaum hawa , yaitu membuat dirinya
menarik dengan jalan merawat tubuh, pakaian, make up dan lain sebagainya. Cara
lain yang digunakan baik kaum hawa ataupun kaum adam adalah dengan
2
mengembangkan tata krama yang menyenangkan, suka menolong, sopan dan
tidak mengganggu. Cara-cara tersebut akan membuat diri sendiri dapat dicintai.
Premis kedua mengenai tidak ada sesuatu yang perlu dipelajari tentang cinta
adalah masalah obyek. Orang berpikir bahwa mencintai itu merupakan hal yang
mudah namun menemukan obyek yang tepat untuk mencintai ataupun dicintai itu
sulit. salah satu alasannya yaitu perubahan besar yang muncul pada abad ke-20
dalam kaitannya dengan pemilihan ”obyek cinta.” Pada abad tersebut dikatakan
sebagai abad victorian, yang kita ketahui banyak budaya tradisonal dan sebagian
besar cinta bukanlah pengalaman pribadi yang bersifat spontan yang akhirnya
berujung pada sebuah pernikahan, tetapi sebaliknya, pernikahan diikat dengan
perjanjian oleh masing-masing keluarga yang dilakukan berdasarkan dengan
beberapa pertimbangan sosial dan cinta diandaikan akan berkembang setelah
menikah.
Premis ketiga yang menyebabkan bahwa cinta tidak perlu dipelajari adalah
tentang kebingungan antara pengalaman jatuh cinta dan kondisi permanen berada
dalam cinta atau bertahan dalam cinta. Jika dua orang meruntuhkan tembok
pemisah diantara mereka dan merasa dekat serta merasa satu, hal tersebut
merupakan momen pengalaman yang paling menggembirakan dan paling
menggairahkan dalam hidup. Hal tersebut akan sangat menggembirakan dan
menguntungkan bagi mereka yang terasing, terpencil tanpa cinta. Keajaiban
keintiman dalam sekejap ini akan lebih mudah jika digabungkan dengan
ketertarikan hubungan seksual. Oleh karena sifat dasarnya seperti itu, cinta
3
semacam ini tidak akan berlangsung lama. Hal tersebut dikarenakan karena akan
terjadi sebuah kekecewaan, pertentangan dan kebosanan yang sama-sama mereka
alami dan mengakhiri segala yang tersisa dari kegairahan awal. Namun, pada
awalnya mereka yang melakukan hal tersebut tidak mengetahuinya; pada
kenyataannnya, mereka menunjukkan intensitas ketertarikan, tergila-gila satu
sama lain, sebagai sebuah bukti intensitas cinta mereka walaupun hal tersebut
hanya membuktikan tingkat kesepian sebelumnya..
Sikap tersebut berarti tidak ada yang lebih mudah daripada mencinta lalu
berlanjut pada pandangan yang lazim tentang cinta walaupun buktinya sangat
bertolak belakang. Jika dilihat, semua aktivitas diatas hampir tidak ada upaya
yang dimulai dengan kerinduan dan pengharapan yang sedemikian dahsyat,
walaupun selalu gagal, seperti cinta. Orang akan sangat ingin mengetahui jika hal
tersebut gagal dan belajar bagaimana dapat melakukannya dengan lebih baik atau
mungkin akan menyerah pada aktivitas tersebut. Aktivitas menyerah merupakan
hal yang mustahil pada cinta dan hanya ada satu cara untuk mengatasi kegagalan
cinta serta mulai mempelajari makna cinta.
Langkah pertama yang perlu disadari untuk mengatasi kegagalan cinta
adalah kita harus bisa mempelajari makna cinta. Cinta itu merupakan seni karena
hal ini sama halnya dengan hidup yang juga merupakan seni. Contohnya, apabila
kita ingin belajar bagaimana mencintai, kita harus melakukan cara yang sama
seperti kita akan mempelajari seni lain, seperti melukis, menyayi atau seni
pengobatan. Dalam mempelajari seni diperlukan dua proses yaitu pertama kita
4
harus menguasai teorinya dan penguasaan atas praktiknya. Jika kita igin
mempelajari seni musik berupa piano pertama-tama kita harus mengetahu nadanada
dalam piano. Setelah pengetahuan tentang alat musik tersebut telah kita
kuasai kita akan menjadi seorang pianis hanya setelah melakukan banyak praktik,
sampai pada akhirnya hasil pengetahuan teoritis dan hasil praktik kita mendarah
daging. Seperti dalam cinta, kita juga harus memahami tentang makna cinta itu
sendiri dan kita benar-benar akan memahaminya apabila kita melakukan praktekprakek
cinta yang telah diungkapkan oleh Formm mengenai praktek cinta yang
akan dibahas pada bab Telaah Teori. Di samping mempelajari teori dan praktik
ada satu faktor lagi yang diperlukan untuk menjadi ahli dalam senipenguasaan
seni harus menjadi pusat perhatian yang utama; di dunia ini benar tidak ada hal
lain yang lebih penting daripada seni. Hal ini juga sama untuk pengobatan, seni
patung, kerajinan kayu dan cinta. mungkin dalam pernyaan tersebut terdapat
jawaban atas pertanyaan tentang mengapa orang dalam budaya kita jarang
berusaha mempelajari seni tersebut meskipun mereka jelas-jelas gagal betapa pun
mendalamnya kebutuhan akan cinta, hampir selalu ada hal lain yang dianggap
lebih penting daripada cinta, seperti sukses, prestise, uang dan kekuasaan. Nyaris
energi kita digunakan untuk mencapai tujuan tersebut dan hampir tidak ada yang
ditunjukkan untuk mempelajari seni mencintai.
Salah satu upaya untuk mengkomunikasikan hal tersebut, cinta, adalah
melalui film, baik film dokumenter, komersia atau film cerita. Disini penulis
mengambil tema film cerita. Film merupakan bentuk produk kebudayaan. Film
5
mempunyai kekuatan mendalam untuk memberikan pengaruh secara psikologs.
Kekuatan film terletak pada daya sugestifnya karena pada dasarnya film itu
diciptakan berpangkal dari realitas masyarakat dan lingkungan. Hal tersebut
sesuai dengan kekuatan film dalam merepresentasikan kehidupan sehingga
mampu memuat nilai budaya masyarakat. Sadar tidak sadar, setelah menonton
film akan ada kesan yang tertanam dalam memori orang tersebut. Kesan tersebut
akan mengendap dari dalam diri orang yang bersangkutan, sampai akhirnya
memberikan pengaruh kepada pola atau sikap mereka.
Suatu film dapat menceritakan kepada kita mengenai suatu kehidupan, baik
tentang sosial, budaya, politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Seperti pada tema
film yang penulis analisis, Ayat-Ayat Cinta. Melalui film, pesan-pesan yang
berhubungan dengan tema film dan segi kehidupan tersebut dapat dituturkan
dengan bahasa audio visual yang menarik sesuai dengan sifat film yang berfungsi
sebagai media hiburan, informasi, promosi maupun sarana pelepas emosi
khalayak.
Dengan pertimbangan inilah media film digunakan sebagai salah satu cara
untuk menyampaikan pesan mengenai cinta dalam film Ayat-Ayat Cinta. Melalui
film diharapkan pesan-pesan mengenai nilai cinta dapat lebih mudah diterima dan
dipahami masyarakat dari berbagai kalangan.
Disini penulis menganalisis film”Ayat-Ayat Cinta”, yang mana penulis
meyakini bahwa film tersebut mengusung tema tentang cinta. Film ”Ayat-Ayat
Cinta” adalah film yang bermutu karena sarat pesan moral dan sangat fenomenal
6
di tahun 2008. Film “Ayat-Ayat Cinta” seolah menjadi lokomotif bagi gerbong
film bergenre sejenis. Menyusul lagi adanya film religi yang bergenre sama, yaitu
film ”Ketika Cinta Bertasbih” yang akan ditayangkan beberapa saat lagi.
Munculnya film yang bergenre religi dan roman disebabkan karena ketiadaan film
berjenis religi.
Fenomena lain mengenai film ini adalah terbukti dari dua juta penonton
dalam waktu hanya dua pekan mampu disedot sebuah film ”Ayat-Ayat Cinta”.1
Selain itu dalam penayangan perdanya, di area studio XXI (twentyone) plaza
senayan Jakarta, nuansa timur tengah menghiasi seluruh studio. Setiap penonton
yang melewati eskalator akan langsung disapa sebaris senyum balasan gadis-gadis
cantik ala Aisha, lengkap dengan gamis dan cadarnya dan beberapa dari mereka
membawa baki berisi kurma. Hal tersebut juga terjadi ketika para penonton
masuk ke dalam area studio, nuansa Aisha itu lebih kental. Setiap penonton yang
datang diberi souvenir sebuah syal untuk penutup wajah (cadar), yaitu syal yang
sama seperti Aisha dalam film ”Ayat-Ayat Cinta”. Selain itu bisa disaksikan
puluhan wanita berpakaian gamis dan bercadar lalu lalang di seluruh area studio.
Fenomena lain juga ditunjukkan oleh para penjaga loket karcis, semuanya
berjilbab, gamis dan bercadar. Tidak kalah dengan para penjaga loket karcis yang
mayoritas wanita, sebagian pria berwajah-wajah tampan melilitkan kafiyeh di
lehernya. Cadar tersebut merupakan fenomena tersendiri yang terjadi pada saat
film ”Ayat-Ayat Cinta” ditayangkan perdana.
1 Dapat diakses melalui, www.multiply.ayat-ayatcintafenomenal.com, 24 February 2008. Pukul 12 pm.
7
Cadar bisa dikatakan fenomena karena pada waktu film film Ada Apa
Dengan Cinta (AADC) yang mana banyak para penonton yang menonton film
tersebut mengikuti gaya para tokoh di film tersebut. Sebagai contoh, para pria
berubah menjadi pendiam dan lebih puitis seperti Rangga (NicholasSaputra).
Sebelum film ini dirilis, novel ”Ayat-Ayat Cinta” karangan
Habiburrahman El Shirazy, sudah lebih dulu menghipnotis banyak pembaca.
Novel “Ayat-Ayat Cinta” berbicara dalam tataran imajinasi yang tanpa batas,
sementara film memberikan visualisasi dengan berangkat dari kenyataan di
permukaan bumi. Novel “Ayat-ayat Cinta” telah menggugah jutaan pembacanya
untuk mampu berefleksi pada sosok yang dihadirkan, apakah itu Fahri, Aisha,
Nurul, Maria maupun tokoh yang lain, sehingga mampu membawa perubahan
pada diri untuk menuju masa depan bangsa yang lebih baik. Kerja keras,
komitmen pada nilai luhur, budi pekerti dan perencanaan dalam kehidupan adalah
sesuatu yang harus mengisi dalam setiap hembusan nafas kita. Tak salah memang
jika menyebut novel ini sebagai Novel Pembangun Jiwa. Puji rahmat mengatakan,
“Mungkin tidak hanya saya yang usai membaca novel ini untuk segera membuat
perencanaan (mapping) ke mana kita akan melangkah, bagaimana ilmu menjadi
bekal dalam mengarungi kehidupan yang kian lama kian abu-abu, bagaimana
kerja keras mengisi dalam setiap langkah kita, bagaimana komitmen menjadi
8
pengikat dalam mencapai tujuan, dan masih banyak lagi pelajaran yang bisa
dipetik dari novel ini.”2
Setelah novel ini laku keras dipasaran, Manoj Punjabi (seorang produser
Indonesia) setelah membaca novel ini, Manoj tertarik untuk menghadirkan film
bertema religi. Hal yang sama juga di ungkapkan oleh sutradara Indonesia,
Hanung Bramantyo. Disini Hanung ingin menyampaikan beberapa hal melalui
film ini. Pertama, Islam bukan teroris. Kedua, Islam adalah agama yang lebih
mengedepankan cinta, toleransi, sabar, dan ikhlas.
Setelah pernyataan diatas, Hanung lalu memvisualisasikan novel “Ayat-
Ayat Cinta” menjadi bentuk sebuah film religi. Kehadiran film “Ayat-Ayat Cinta”
ini sang sutradara seakan ingin mewujudkan sosok Fahri, Aisha, Maria, Nurul dan
tokoh-tokoh lainnya dalam visualisasi yang lebih nyata.
Mungkin akan banyak pertanyaan yang muncul dalam benak para
penonton setelah menonton film tersebut. Lokasi yang diambil dalam film ini
adalah di Semarang, Jakarta dan India. Pertanyaan tersebut muncul dengan
beberapa perbedaan “persepsi dan imaginasi” pembaca novel dan “visualisasi”
yang disajikan oleh Hanung dalam filmnya, “Ayat-ayat Cinta”.
Menurut Puji Rahmat, bahwa dia adalah penggemar Novel “Ayat-ayat
Cinta”. Dia juga merasakan hal sama dengan berjuta penggemar Novel “Ayatayat
Cinta” lainya, berangkat dari sebuah ekspektasi setinggi khayalan di luar
angkasa dan seindah imajinasi di atas cakrawala, sehingga harus turun ke langit
2Puji Rahmat, Dapat diakses melalui,www.kabarindonesia.com, 6 Maret, 2008.
9
bumi di lapisan ionosfer untuk bertemu dengan hasil visualisasi sebuah film karya
Hanung Bramantyo ini.3 Dalam pandangan Puji Rahmat, sebenarnya jika dilihat
secara lebih objektif, kedua karya ini memang mempunyai sisi yang luar biasa
pada masing-masing karakteristiknya, namun demikian masih belum dapat untuk
disandingkan dalam satu bingkai yang sama.
Banyak para penonton yang belum membaca novel “Ayat-Ayat Cinta”
sangat setuju bahwa film ini luar biasa bagusnya dan banyak yang terhanyut akan
alur cerita yang di tayangkan film tersebut. Hal yang sama juga diungkapkan oleh
Puji, “Sementara yang belum membaca melakukan perjalanannya dari tempat
peluncuran roket di bumi sehingga menikmati sekali perjalanan meluncur ke
stasiun angkasa.”4
Sedangkan para pembaca novel yang telah terbang terlebih dahulu dalam
imajinasinya pada saat membaca novel tersebut, kemudian datang ke bioskop
untuk menemukan stasiun luar angkasa akan imajinasinya itu akan memiliki
banyak sekali pertanyaan yang ada dibenak para pembaca novel ketika mereka
selesai menyaksikan film tersebut.
Film memang berbeda dengan novel. Film merupakan terminologi gambar
yang bergerak. Sangat berbeda sekali dengan foto, film bisa menghadirkan unsur
dinamis dari obyek yang ditampilkannya itu. Sebagai media audio visual, film
mempunyai karakteristik yang berbeda dengan format tanda yang lain yang hanyabersifat tekstual atau visual saja, misalnya bahasa dan lukisan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar